Dalam sebuah sajak panjangnya yang dideklamasikan di Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, tanggal 19 Ogos 1978, penyair W S Rendra berbicara mengenai nasib dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Sajak yang terkenal itu diberi judul Sajak Sebatang Lisong.
"Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukung mengangkang
berak di atas kepala mereka.
Matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan."
Maka, di bait awal sajak ini, Rendra membangunkan pertanyaan mengenai masalah keciciran lapan juta anak-anak Indonesia dalam bidang pendidikan. Dan, semua ini terkait dengan kedudukan cukong kapitalis yang mengawal segala perusahaan lalu secara tidak langsung melahirkan kedudukan yang tak seimbang dalam masyarakatnya.
Setelah kritikan itu terapung ke udara untuk dilemparkan terhadap kelas atasan, maka teguran itu selanjutnya dihentak terhadap golongan cendekiawan pendeta yang tidak berjuang merungkai ikatan tali permasalahan umat yang berselirat di sekeliling mereka.
Guru, pensyarah yang tidak peduli masalah kehidupan
Golongan pertama yang disentuh oleh Rendra selepas itu ialah para pendidik yang mengajar di sekolah dan kuliah tanpa mengaitkan isi pengajaran dan kuliah mereka dengan kemelut persoalan kehidupan hari ini.
"Aku bertanya
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papan tulis-papan tulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan."
Tapi, mungkin juga guru-guru kuliah dan para pendidik itu sebenarnya ingin bersuara. Cuma, bantahan mereka itu tidak terlafaz dengan sempurna. Beliau menggambarkan perihal ketakutan untuk membantah itu dalam bait yang berikutnya.
"Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam
terhimpit di bawah tilam."
Ertinya, bukanlah rakyat tidak mahu protes langsung, tetapi suara mereka tersekat, disekat oleh benteng ketakutan yang mereka sendiri ciptakan. Oleh itu, protes itu pun menjadi tenggelam dibuai arus ketakutan.
Selanjutnya, yang paling utama ialah - Rendra menyentuh kedudukan para penyair salon. Siapakah penyair salon tersebut? Mereka ini adalah kelompok yang hanya bersajak mengenai 'wine', kenikmatan anggur yang diperam menjadi arak dan keindahan alam seperti bulan.
"Aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian."
Hal inilah yang menjadi titik permasalahan di sini. Iaitu, kelompok yang bersajak tanpa menyentuh perihal ketidakadilan, kezaliman dan penindasan yang terjadi sekeliling mereka. Kalimat 'delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan yang termangu di kaki dewi kesenian' itu barangkali suatu bentuk sindiran juga terhadap penyair yang memejamkan mata terhadap derita umat yang sepatutnya menggunung dalam hati para penyair itu.
"Kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa-desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata."
Akhirnya penyair yang terkenal dengan gelaran Burung Merak ini menyeru supaya rakyat bingkas bangkit menggalas beban permasalahan mereka sendiri ke jalan raya. Atau, adakah seruan ini sebenarnya dituju secara khas terhadap penyair untuk 'mencatat sendiri semua gejala, dan menghayati persoalan yang nyata'? Wallahu'alam...
Karya yang tak sentuh derita umat itu, apalah ertinya?
Maka, di hujung sajak protes yang panjang itu, sekali lagi beliau membangunkan pertanyaan terhadap dua kelompok. Buat kelompok penyair dan penulis, beliau bertanya, untuk apakah hasil kesenian dalam penulisan kita itu jika ia terpisah daripada derita masyarakat di sekelilingnya.
Dan, kepada golongan pemikir seperti warga pendidik, guru-guru sekolah, cendekiawan, ulamak, pendeta dan pensyarah di kuliah universiti, Rendra pun membangkitkan pertanyaan - apakah ertinya berfikir jika hasil fikiran itu tiada kaitan dan kaitan kena-mengena dengan masalah kehidupan rakyat.
"Apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan..."
Lalu, kita pun bertanya juga, memandangkan denyut nadi dan detak jantung pilihan raya umum Sarawak semakin hampir, di manakah hasil karya kreatif penulis Sarawak yang demikian jelas menajamkan kritikan dan teguran mereka terhadap Taib Mahmud?
Dan, kepada golongan pemikir seperti warga pendidik, guru-guru sekolah, cendekiawan, ulamak, pendeta dan pensyarah di kuliah universiti, Rendra pun membangkitkan pertanyaan - apakah ertinya berfikir jika hasil fikiran itu tiada kaitan dan kaitan kena-mengena dengan masalah kehidupan rakyat.
"Apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan..."
Lalu, kita pun bertanya juga, memandangkan denyut nadi dan detak jantung pilihan raya umum Sarawak semakin hampir, di manakah hasil karya kreatif penulis Sarawak yang demikian jelas menajamkan kritikan dan teguran mereka terhadap Taib Mahmud?
No comments:
Post a Comment